Senin, 19 Juli 2010

SAMURAI (侍)

www.tips-fb.com Diposting oleh ilunk


Istilah samurai ( 侍 ), pada awalnya mengacu kepada “seseorang yang mengabdi kepada bangsawan”. Pada zaman Nara, (710 – 784), istilah ini diucapkan saburau dan kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat pula istilah lain yang mengacu kepada samurai yakni bushi. Istilah bushi ( 武士 ) yang berarti “orang yang dipersenjatai/kaum militer”, pertama kali muncul di dalam Shoku Nihongi ( 続日本紀 ), pada bagian catatan itu tertulis “secara umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta negara”. Kemudian berikutnya istilah samurai dan bushi menjadi sinonim pada akhir abad ke-12 (zaman Kamakura). Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600) dan awal zaman Edo (1603), istilah saburai berubah menjadi samurai yang kemudian berubah pengertian menjadi “orang yang mengabdi”. Bagaimanapun, istilah samurai digunakan untuk prajurit elit dari kalangan bangsawan. Samurai yang tidak terikat dengan klan atau tidak bekerja bekerja untuk majikan/ (daimyo) disebut ronin (secara harafiah: "orang ombak"). Golongan samurai hanya dapat dimasuki melalui kelahiran atau pengangkatan sebagai anak berdasarkan hokum. Meskipun samurai berstatus social tinggi, namun secara internal golongan samurai terbagi lagi dalam berbagai jenjang. Jenjang teratas ditempati oleh para daimyo beserta keluarga mereka, yang menikmati semua hak istimewa yang menyertai kedudukan itu. Sedangkan jenjang terendah ditempati oleh kaum ashigaru. Kaum ashigaru (secara harfiah: “kaki ringan”) adalah para serdadu pejalan kaki, laskar garda depan, pasukan bertombak, pembawa panji / bendera yang bertuliskan simbol klan. Mereka adalah prajurit rekrutan dari rakyat biasa yang biasanya golongan petani (samurai dadakan / samurai tanpa nama).

Samurai dianggap sebagai golongan ksatria/ militer yang terpelajar dan memiliki derajat yang tinggi di masyarakat, namun semasa Keshogunan Tokugawa berangsur-angsur samurai kehilangan fungsi ketentaraan mereka. Pada akhir era Tokugawa, samurai secara umumnya adalah kakitangan umum bagi daimyo, dengan pedang mereka hanya untuk tujuan istiadat. Dengan reformasi Meiji pada akhir abad ke-19, samurai dihapuskan sebagai kelas berbeda dan digantikan dengan tentara nasional yang menyerupai negara Barat. Bagaimanapun juga, sifat samurai yang ketat yang dikenal sebagai bushido masih tetap ada dalam masyarakat Jepang masa kini, sebagaimana tercermin dalam aspek cara hidup mereka yang ulet, gigih, tekun, penuh semangat dan pantang menyerah.

SENJATA SAMURAI
Samurai mengunakan beberapa macam jenis senjata, tetapi katana adalah senjata yang paling sering digunakan dan identik dengan keberadaan mereka, Katana adalah sebutan untuk bilah pedang panjang. Dalam Bushido diajarkan bahwa katana adalah roh/ jiwa dari samurai dan digambarkan bahwa seorang samurai sangat tergantung pada katana dalam setiap pertempuran. Mereka percaya bahwa katana sangat penting dalam memberi kehormatan dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan seorang samurai.
Katana biasanya dipasangkan dengan wakizashi, keduanya hanya boleh dipakai oleh golongan samurai. Kedua senjata tersebut dipakai bersama-sama disebut daisho (secara harfiah memiliki arti: pedang panjang dan pendek), dan mewakili kekuatan sosial dan kehormatan pribadi samurai. Pedang panjang dipakai untuk pertempuran terbuka, sementara yang lebih pendek dipakai sebagai senjata sampingan (side arm), lebih cocok untuk menikam, pertempuran jarak dekat, dan juga digunakan untuk seppuku/harakiri (ritual bunuh diri).

Pedang Jepang terkenal diseluruh dunia karena kualitasnya. Bilahnya merupakan lapisan baja yang sangat kuat dan keras. Katana adalah pedang terbaik yang pernah ada. Pembuatan bilah pedang katana merupakan proses yang sangat panjang dan sulit, dimana satu batang logam baja yang tebal dan panas dilipat berulang-ulang. Bilah pedang yang setengah jadi lalu diserahkan kepada tukang asah dan tukang poles, sebelum dikembalikan lagi kepada si pembuat pedang untuk dilakukan proses finishing dan diberi rincian-rincian akhir beserta tanda tangan pembuatnya. Pembuatan pedang katana hingga ‘siap pakai’ bisa mencapai waktu hingga berbulan-bulan. Dari dulu pedang katana tua / antik sangat dikagumi dan dihormati, harganyapun bisa mencapai jutaan dollar. Bahkan pada sebuah museum di Jepang ada pedang yang telah berusia lebih dari 800 tahun namun hingga kini masih tampak baru dan seakan-akan baru selesai di poles.

Apabila seorang anak dari golongan samurai telah mencapai usia tiga belas tahun, ada upacara yang dikenali sebagai Genpuku. Anak laki-laki yang menjalani genpuku mendapat sebuah wakizashi (pedang pendek) dan diberi nama dewasa untuk menjadi samurai secara resmi. Ini dapat diartikan dia diberi hak untuk mengenal katana walaupun biasanya katana tersebut diikat dengan simpul tali untuk menghindari katana terhunus secara tidak sengaja. Pasangan katana dan wakizashi dikenal sebagai Daisho, yang artinya “besar dan kecil”, atau secara harfiah berarti pedang penjang dan pedang pendek.
Berikut ini adalah contoh beberapa Wakizashi :

Daisho adalah istilah untuk sepasang pedang, yaitu; sebilah pedang panjang (Katana), dan sebilah pedang pendek (Wakizashi),yang merupakan jiwa dan identitas sebagai seorang samurai. Katana dan Wakizashi merupakan senjata yang ideal pada zaman samurai. Kesempurnaan pedang jepang sebagai senjata yang elegan, tangguh dan eksklusif dimanifestasikan oleh kecantikan kilauan baja yang menakutkan pada kilauan bilah mata pedang yang dihaluskan/ diasah dengan cermat, konon pedang tersebut diyakini sanggup untuk memotong besi atau bahkan baja. Pedang jepang dapat bertahan hingga ribuan tahun, sebagai perlambang harta warisan generasi bangsawan militer yang sangat sakral, mewah dan membanggakan. Pedang semacam ini tidak dibuat atau ditemukan pada tentara atau pada negara lain di dunia.

Berikut ini adalah contoh sepasang Katana dan Wakizashi / (Daisho) :

Samurai membawa Daisho (Katana dan Wakizashi) terselip pada sebelah kiri kain sabuk/ ikat pinggangnya (obi), dengan bilah mata pedang tajam menghadap ke atas. Wakizashi/ Pedang pendek dibawa sepanjang waktu, sedangkan Katana/ Pedang panjang hanya dibawa ketika sedang bepergian. Samurai menyimpan Wakizashi di pinggiran tempat tidur pada saat sedang tidur, sedangkan Katana biasanya diletakan pada rak-khususnya.

Dibawah ini adalah contoh peraga Samurai dalam menggunakan Daisho :

Toyotomi Hideyoshi adalah Shogun yang mengeluarkan aturan untuk melestarikan senjata khas kalangan samurai, yaitu dengan memberikan ketentuan pemakaian pedang Daisho (yaitu membawa sepasang pedang: Katana dan Wakizashi). Jadi hanya kalangan samurai sajalah yang diizinkan untuk memakai dua pedang. Pedang pendek dapat digunakan oleh setiap orang, sedangkan pedang panjang hanya digunakan untuk kalangan ksatria / bangsawan militer atau lebih dikenal dengan istilah golongan samurai.

Di bawah ini adalah lukisan / gambar Toyotomi Hideyoshi :


Selain Katana dan Wakizashi masih ada banyak jenis-jenis pedang jepang lainnya yang dipakai oleh Samurai,
Jenis-jenis pedang Jepang




1. Nodachi & Odachi
Jarang ada samurai yang ahli menggunakan Nodachi(bayangkan saja pedang yang melengkung dengan panjang kira-kira 90-140 centimeter di gunakan sebagai senjata)tapi sebenarnya ini bukan fiktif loh banyak para samurai di masa lalu yang menggunakannya namun karena sangat sulit menggunakan nodachi (nodachi di gunakan dengan ke2 tangan ,soalnya g mungkin kalo pake kaki ;P)dan sangatlah sulit untuk membuatnya jarang ada pandai besi yang membuatnya. daya serang nodachi ini sangatlah luar biasa bahkan di katakan bila seorang yang sudah sangat ahli menggunakan nodachi dia bisa membelah menunggang kuda sekaligus dengan kudanya di peperangan



2. Nagamaki
Pedang dengan panjang mata pedang dan gagang yang sama. Termasuk dalam katagori belati, Digunakan untuk serangan mendadak. Penggunaan pedang ini tidak seefisien Tanto. Tapi pedang ini memilki keindahan lebih.



3. Tachi
Tachi (太刀, Tachi?) adalah sejenis pedang Jepang yang lebih melengkung dan sedikit lebih panjang daripada katana. Gilbertson, Oscar Ratti, dan Adele Westbrook mengatakan bahwa pedang disebut tachi jika digantung pada obi dengan sisi tajam mengarah ke bawah, dan pedang yang sama disebut katana jika dibawa dengan sisi tajam mengarah ke atas dan diselipkan pada korset.[1] Pedang model tachi akhirnya tak dipakai lagi dan digantikan oleh katana. Sementara itu, pedang model daitō (pedang panjang yang lebih dulu ada daripada katana), panjang rata-rata mata pedangnya sekitar 78 cm (lebih panjang dari katana yang panjang rata-ratanya sekitar 70 cm). Berlawanan dengan cara tradisional membawa katana, tachi dikenakan dengan sisi tajam mengarah ke bawah dan biasanya dibawa pasukan kavaleri. Variasi dari panjang rata-rata tachi dibedakan dengan awalan ko- untuk tachi berukuran pendek dan ō- untuk tachi berukuran lebih panjang. Sebagai contoh, tachi model shōtō yang panjangnya hampir sama dengan wakizashi disebut kodachi. Pedang tachi terpanjang yang disebut ōdachi dari abad ke-15 berukuran panjang lebih dari 3,7 meter (panjang mata pedangnya 2,2 m) namun tachi model ini diperkirakan hanya digunakan pada upacara-upacara. Pada tahun 1600-an, banyak tachi kuno diperpendek menjadi katana. Hampir seluruh pedang tachi yang sekarang ada termasuk jenis o-suriage. Jadi, jarang sekali terdapat pedang tachi ubu yang asli dan bertanda tangan.


4. Wakizhashi
Wakizashi (bahasa Jepang: 脇差) adalah pedang Jepang tradisional dengan panjang mata bilah antara 30 dan 60 sentimeter (antara 12 hingga 24 inci), serupa tetapi lebih pendek bila dibandingkan dengan katana yang sering dikenakan bersama-sama. Apabila dikenakan bersama, pasangan pedang ini dikenali sebagai daisho, yang apabila diterjemahkan secara harafiah sebagai "besar dan kecil"; "dai" atau besar untuk katana, dan "sho" untuk wakizashi. Wakizashi diperbuat dengan bentuk "zukuri" dan "niku" yang berbeda, dan biasanya, tebal bilah pedangnya lebih tipis dibandingkan dengan katana. Ia seringkali dikatakan mempunyai "kurang niku" (yang artnya secara harfiah 'daging', ukuran bagaimana bengkoknya convex mata bilah itu) dan dengan itu memotong sasaran "lembuh" lebih dashyat berbanding katana. Wakizashi digunakan sebagai senjata samurai apabila tidak ada Katana. Apabila memasuki bangunan suci atau bangunan istana, samurai akan meninggalkan katananya pada para pengawal pada pintu masuk. Namun, wakizashi selalu tetap dibawa pada setiap waktu, dan dengan itu, ia menjadi senjata bagi samurai, serupa seperti penggunaan pistol bagi tentara. Seseorang samurai akan mengenakannya ketika dia sadar bahkan sewaktu mereka tidur, senjata itu tetap berada disampingnya. Pada masa silam, terutamanya semasa perang saudara, tanto dikenakan bagi menggantikan wakizashi.



5. Naginata
Naginata adalah senjata panjang yang berbentuk tongkat panjang dengan pedang di ujungnya. Senjata ini umumnya digunakan oleh samurai dan sering digunakan oleh kaum wanita. Senjata ini sangat efektif digunakan untuk melawan penunggang kuda. Ilmu beladiri yang menggunakan naginata disebut naginatajutsu.



6. Yumi
Yumi adalah busur panjang. Senjata ini banyak digunakan oleh para samurai untuk menyerang jarak jauh. Sampai dengan hari ini yumi masih banyak digunakan dalam olah raga yang disebut kyudo/panahan.



Ada empat kelompok strata / kelas sosial masyarakat Jepang, yaitu: samurai, petani, seniman dan pedagang / saudagar. Samurai merupakan golongan yang memegang status / strata masyarakat yang tertinggi, karena termasuk dalam golongan bangsawan, golongan militer, golongan terpelajar, penguasa, pegawai negara dan ksatria. Keturunan samurai (baik laki-laki maupun perempuan) dengan sendirinya masuk kedalam golongan bangsawan militer, tanpa memandang apakah mereka pernah mengangkat pedang atau tidak.
Namun peran samurai tidak semata-mata terbatas pada bidang militer saja. Beberapa samurai juga banyak yang menjadi cendikiawan termahsyur, ada yang berkiprah sebagai administrator sipil dan militer, seniman, pakar estetika dan bahkan seringkali dalam bidang politik. Namun semuanya dituntut untuk akrab dengan peran status mereka dalam keadaan perang. Bagi anak-anak samurai, pelatihan untuk hidup keprajuritan yang akan mereka jalani dimulai sejak dini, bahkan sejak lahir, apabila ada tanda-tanda bahwa bayi itu nantinya kidal. Di Jepang, yang mengutamakan penyesuaian diri, tidak boleh ada orang yang kidal, kekidalan adalah suatu aib yang tidak dapat diterima. Jika ada kemungkinan seorang anak akan mengalami kekidalan maka lengan kirinya akan diikat, semua barang akan ditempatkan dalam jangkauan tangan kanan, dan segala sesuatunya akan dilakukan dan diupayakan untuk menghilangkan sifat kidal tersebut.

Antara usia tujuh dan delapan tahun, anak-anak samurai didorong untuk bersikap baik dan kooperatif terhadap rekan-rekan bermain mereka, dan diajarkan agar menjauhi sikap suka berkelahi maupun terlalu mementingkan diri sendiri. Pada usia sembilan dan sepuluh tahun, mereka lebih memusatkan perhatian kepada subjek-subjek akademis seperti belajar dan menulis. Bagian pendidikan yang serius berlangsung antara usia sepuluh dan dua belas, ketika seorang anak dapat menghabiskan waktu sampai dua belas jam sehari untuk berbagai mata pelajaran, mulai dari menekuni ilmu-ilmu abstrak, filsafat, jasmani termasuk bela diri khusunya kendo / berlatih pedang, hingga belajar alat musik. Banyak para samurai muda diantaranya yang berumur kisaran tiga belas sampai empat belas tahun yang mulai diikut sertakan dalam pertempuran / medan perang.



“Jalan samurai dapat ditemukan dalam kematian”, pepatah sederhana itu sering dikutip atau diungkapkan dalam karya-karya mengenai sejarah Jepang, yang menekankan konsep kewajiban para samurai. Kematian di medan laga adalah ambisi yang terhormat. Para petarung seringkali terjun ke suatu pertempuran dengan menyadari bahwa kematian tidak terelakkan. Ada sejumlah hal yang lebih buruk dan menyedihkan dibandingkan kematian, yaitu: gagal melayani tuannya dengan baik, gagal dalam menjalani misi yang diemban, atau membawa aib kepada marga, junjungan / bahkan dirinya sendiri. Jika terluka parah dalam perang, seorang samurai pada umumnya akan lebih memilih bunuh diri daripada membiarkan dirinya ditawan musuh atau mendapat malu karena menderita oleh rasa sakit yang dialaminya. Mereka beranggapan bahwa mereka toh akan mati juga, jadi bunuh diri dipandang sebagai kematian dengan cara mereka sendiri, yaitu mati dengan membawa harga diri dan kehormatan yang tetap utuh. Cara bunuh diri yang paling banyak dipilih ialah seppuku / dikenal juga dengan harakiri. Bunuh diri menjadi pilihan dalam berbagai situasi, dan mungkin paling dikenal sebagai bentuk hukuman, selain itu bunuh diri juga merupakan cara menebus suatu kesalahan secara sepenuhnya sukarela. Biasanya ritual bunuh diri (seppuku/hara-kiri) yang resmi dilakukan dengan menggunakan wakizashi. Harakiri berasala dari Kata hara yang berarti perut dan kiri yang berarti memotong, secara harfiah berarti memotong / merobek perut. Kebiasaan harakiri ini dilakukan oleh prajurit berkelas tinggi dari kalangan samurai sebagai bukti kesetiaan. Bunuh diri yang dilakukan para samurai ini sangat menyiksa, karena si pelaku harus menunggu kematian karena kehabisan darah setelah merobek dan mengeluarkan isi perutnya.

Di bawah ini adalah ilustrasi dari ritual Harakiri/Seppuku yang dilakukan oleh Samurai :



Ada ritual khusus yang harus dilakukan oleh samurai jika ingin melakukan hara-kiri, yaitu; ia harus mandi, menggunakan jubah putih, dan makan makanan favoritnya. Namun aturan ini tidak mutlak / tidak wajib untuk dilaksanakan. Secara aturan tradisional seharusnya ada seorang asisten / pendamping (kaishakunin) yang dipilih oleh samurai yang akan melakukan harakiri, yang siap membantu untuk memenggal kepala sang pelaku hara-kiri hingga terlepas dari batang lehernya dengan katana. Jika pelaku harakiri menjerit atau menangis kesakitan saat ia menusuk dan mengeluarkan isi perutnya, hal tersebut dianggap sangat memalukan bagi seorang samurai. Karena itu Kaishaku bertugas mengurangi penderitaan itu, mempercepat kematian dengan memenggal kepala si pelaku. Ritual seppuku/hara-kiri yang lengkap terdiri dari dua sayatan diperut, sayatan pertama mendatar dari kiri ke kanan, melintang pada perut di bawah pusar, kemudian sayatan yang kedua mengarah keatas dari bawah pusar, hingga seluruh isi perutnya terburai keluar. Namun pada kenyataannya sebagian besar samurai hanya sempat melakukan sayatan pertama sebelum akhirnya dipenggal. Tetapi adapula samurai yang hendak membuktikan ketegarannya, dan memerintahkan pendampingnya untuk menunggu sampai sayatan kedua selesai dilakukan. Tanpa didampingi asisten, maka kematian yang lama dan menyakitkanlah yang menanti. Karena alasan inilah mereka yang tidak didampingi siapapun seringkali memotong leher sendiri setelah melakukan satu atau dua sayatan tadi. Kaum perempuan dari golongan samuraipun melakukan bunuh diri dengan aturan dan cara tersendiri, yang dinamakan dengan ojigi. Mereka harus menusukkan belati kedalam tenggorokan, atau menghujamkannnya ke dada. Kaum perempuanpun seringkali saling membantu dalam melakukan ritual bunuh diri.
Obsesi kepada kematian (terutama bunuh diri) menegaskan keseluruhan konsep kesetiaan yang berapi-api sebagai kekuatan pemotivasi. Para samurai diharapkan untuk setia dan bersedia mengorbankan jiwa dan raga demi tuan / junjungan mereka. Apa saja yang diminta oleh sang junjungan, itulah yang menjadi tuntutan dan kewajiban untuk dilakukan. Sejarah kehidupan samurai penuh dengan kisah kesetian dan keperwiraan di hadapan maut. Perlu ditekankan bahwa kesetiaan yang sangat fanatik seperti ini hanya lazim bagi samurai yang terlahir dalam satu marga, atau yang keluarganya secara turun temurun mengabdi menjadi pengikut marga tersebut.

Dibawah ini adalah Kabuto Yoroi / jubah perang yang digunakan Samurai kelas atas / Samurai yang memiliki kedudukan tinggi, untuk bertempur di medan perang :







Kabuto Yoroi memiliki harga yang sangat mahal, biasanya dipakai oleh Komandan, Jendral atau kepala Klan. Kabuto yoroi dibuat dari lebih dari seratus piringan logam / plat logam, yang digabungkan bersama-sama. Piringan / plat tersebut diatur dan disusun secara vertikal, dan memancar, diikat dengan simpul tali, kemudian dipernis dan diberi hiasan. Kabuto yoroi ini dirancang untuk melindungi diri dari serangan liar, seperti tebasan dan tikaman pedang serta hujaman tombak, juga untuk melindungi diri dari terjangan busur panah yang biasanya datang dari berbagai arah. Selain itu kabuto yoroi ini bertujuan untuk meningkatkan gengsi dan menunjukan derajat seorang samurai di medan perang, serta untuk menakuti lawan dengan warnanya yang mengkilat dan juga dengan topeng (pelindung wajah) yang seram.

Dikutip dari :
- A Book Of Five Rings / Miyamoto Musashi by Victor Harris
- Samurai 1550 - 1606 by Anthony J Bryan
- Samurai by Wikipedia
- http://rezamiyamoto.blogspot.com/


Sejarah Samurai

Dalam catatan sejarah militer di Jepang, terdapat data-data yang menjelaskan bahwa pada zaman Nara (710 – 784), pasukan militer Jepang mengikuti model yang ada di Cina dengan memberlakukan wajib militer9 dan dibawah komando langsung Kaisar. Dalam peraturan yang diberlakukan tersebut setiap laki-laki dewasa baik dari kalangan petani maupun bangsawan, kecuali budak, diwajibkan untuk mengikuti dinas militer. Secara materi peraturan ini amat berat, karena para wakil tersebut atau kaum milter harus membekali diri secara materi sehingga banyak yang menyerah dan tidak mematuhi peraturan tersebut. Selain itu pula pada waktu itu kaum petani juga dibebani wajib pajak yang cukup berat sehingga mereka melarikan diri dari kewajiban ini. Pasukan yang kemudian terbentuk dari wajib militer tersebut dikenal dengan sakimori ( 防人 ) yang secara harfiah berarti “pembela”, namun pasukan ini tidak ada hubungannya dengan samurai yang ada pada zaman berikutnya. Setelah tahun 794, ketika ibu kota dipindahkan dari Nara ke Heian (Kyoto), kaum bangsawan menikmati masa kemakmurannya selama 150 tahun dibawah pemerintahan kaisar. Tetapi, pemerintahan daerah yang dibentuk oleh pemerintah pusat justru menekan para penduduk yang mayoritas adalah petani. Pajak yang sangat berat menimbulkan pemberontakan di daerah-daerah, dan mengharuskan petani kecil untuk bergabung dengan tuan tanah yang memiliki pengaruh agar mendapatkan pemasukan yang lebih besar. Dikarenakan keadaan negara yang tidak aman, penjarahan terhadap tuan tanah pun terjadi baik di daerah dan di ibu kota yang memaksa para pemilik shoen (tanah milik pribadi) mempersenjatai keluarga dan para petaninya. Kondisi ini yang kemudian melahirkan kelas militer yang dikenal dengan samurai. Kelompok toryo (panglima perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto muncul sebagai pemenang di Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka saling memperebutkan kekuasaan. Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga Fujiwara, tidak mampu mengatasi polarisasi ini, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan kaum bangsawan.

Kaisar Gonjo yang dikenal anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan dan memusatkan kekuasaan politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan insei seiji. Kaisar Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya menjadikan o-tera sebagai markas politiknya. Secara lihai, ia memanfaatkan o-tera sebagai fungsi keagamaan dan fungsi politik.

Tentara pengawal o-tera, souhei ( 僧兵 ) pun ia bentuk, termasuk memberi sumbangan tanah (shoen) pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi syarat sebagai “negara” di dalam negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang anti pemerintahan o-tera mengadakan perlawanan dengan memanfaatkan kelompok Taira dan Minamoto yang sedang bertikai.
Keterlibatan Taira dan Minamoto dalam pertikaian ini berlatar belakang pada kericuhan yang terjadi di istana menyangkut perebutan tahta, antara Fujiwara dan kaisar yang pro maupun kotra terhadap o-tera. Perang antara Minamoto, yang memihak o-tera melawan Taira, yang memihak istana, muncul dalam dua pertempuran besar yakni Perang Hogen (1156) dan Perang Heiji (1159).Peperangan akhirnya dimenangkan oleh Taira yang menandai perubahan besar dalam struktur kekuasaan politik. Untuk pertama kalinya, kaum samurai muncul sebagai kekuatan politik di istana.
Taira pun mengangkat dirinya sebagai kuge ( 公家 - bangsawan kerajaan), sekaligus memperkokoh posisi samurai-nya. Sebagian besar keluarganya diberi jabatan penting dan dinobatkan sebagai bangsawan.

Keangkuhan keluarga Taira akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat tinggi antara keluarga Minamoto (yang mendapat dukungan dari kaum bangsawan) dengan kaisar Shirakawa, yang pada akhirnya mengantarkan keluarga Minamoto mendirikan pemerintahan militer pertama di Kamakura (Kamakura Bakufu; 1192 – 1333). Ketika Minamoto Yoritomo wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh keluarga Hojo yang merupakan pengikut Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga Hojo (1199 -1336), ajaran Zen masuk dan berkembang di kalangan samurai. Para samurai mengekspresikan Zen sebagai falsafah dan tuntunan hidup mereka. Pada tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang tidak terbiasa berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat mengantisipasi serangan bangsa Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi serangan bangsa Mongol yang kedua (tahun 1281), para samurai mendirikan tembok pertahanan di teluk Hakata (pantai pendaratan bangsa mongol) dan mengadopsi taktik serangan malam. Secara menyeluruh, taktik berperang para samurai tidak mampu memberikan kehancuran yang berarti bagi tentara Mongol, yang menggunakan taktik pengepungan besar-besaran, gerak cepat, dan penggunaan senjata baru (dengan menggunakan mesiu). Pada akhirnya, angin topanlah yang menghancurkan armada Mongol, dan mencegah bangsa Mongol untuk menduduki Jepang. Orang Jepang menyebut angin ini kamikaze (angin dewa).

Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan bangsa Mongol adalah pentingnya mobilisasi pasukan infantri secara besar-besaran, dan kelemahan dari kavaleri busur panah dalam menghadapi penyerang. Sebagai akibatnya, lambat laun samurai menggantikan busur-panah dengan “pedang” sebagai senjata utama samurai. Pada awal abad ke-14, pedang dan tombak menjadi senjata utama di kalangan panglima perang. Pada zaman Muromachi (1392 – 1573), diwarnai dengan terpecahnya istana Kyoto menjadi dua, yakni Istana Utara di Kyoto dan Istana Selatan di Nara. Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit antara Istana Utara melawan Istana Selatan (nambokuchō tairitsu).
Pertentangan ini memberikan dampak terhadap semakin kuatnya posisi kaum petani dan tuan tanah daerah (shugo daimyō) dan semakin lemahnya shogun Ashikaga di pemerintahan pusat. Pada masa ini, Ashikaga tidak dapat mengontrol para daimyō daerah. Mereka saling memperkuat posisi dan kekuasaannya di wilayah masing-masing.
Setiap Han13 seolah terikat dalam sebuah negara-negara kecil yang saling mengancam. Kondisi ini melahirkan krisis panjang dalam bentuk perang antar tuan tanah daerah atau sengoku jidai (1568 – 1600). Tetapi krisis panjang ini sesungguhnya merupakan penyaringan atau kristalisasi tokoh pemersatu nasional, yakni tokoh yang mampu menundukkan tuan-tuan tanah daerah, sekaligus menyatukan Jepang sebagai “negara nasional” di bawah satu pemerintahan pusat yang kuat. Tokoh tersebut adalah Jenderal Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi. Oda Nobunaga, seorang keturunan daimyo dari wilayah Owari dan seorang ahli strategi militer, mulai menghancurkan musuh-musuhnya dengan cara menguasai wilayah Kinai, yaitu Osaka sebagai pusat perniagaan, Kobe sebagai pintu gerbang perdagangan dengan negara luar, Nara yang merupakan “lumbung padi”, dan Kyoto yang merupakan pusat pemerintahan Bakufu Muromachi dan istana kaisar.

Strategi terpenting yang dijalankannya adalah Oda Nobunaga dengan melibatkan agama untuk mencapai ambisinya. Pedagang portugis yang membawa agama Kristen, diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama itu di seluruh Jepang. Tujuan strategis Oda dalam hal ini adalah agar ia secara leluasa dapat memperoleh senjata api yang diperjualbelikan dalam kapal-kapal dagang Portugis, sekaligus memonopoli perdagangan dengan pihak asing. Dengan memiliki senjata api (yang paling canggih pada masa itu), Oda akan dapat menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan mempertahankan wilayah yang telah dikuasainya serta membentuk pemerintahan pusat yang kokoh. Oda Nobubunaga membangun benteng Azuchi Momoyama pada tahun 1573 setelah berhasil menjatuhkan Bakufu Muromachi. Strategi Oda dengan melindungi agama Kristen mendatangkan sakit hati bagi pemeluk agama Budha. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh pengikutnya sendiri, Akechi Mitsuhide, seorang penganut agama Budha yang fanatik, pada tahun 1582 di Honnoji, sebelum ia berhasil menyatukan seluruh Jepang. Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan penyatuan Jepang, dan tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan menaklukkan keluarga Hojo di Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu tiga tahun sebelumnya. Terdapat dua peraturan penting yang dikeluarkan Toyotomi : taiko kenchi (peraturan kepemilikan tanah) dan katana garirei (peraturan perlucutan pedang) bagi para petani. Kedua peraturan ini secara strategis bermaksud “mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan mengontrol para petani agar tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata. Keberhasilan Toyotomi menaklukkan seluruh tuan tanah mendatangkan masalah tersendiri. Semangat menang perang dengan energi pasukan yang tidak tersalurkan mendatangkan ancaman internal yang menjurus kepada disintegrasi bagi keluarga militer yang tidak puas atas kemenangan Toyotomi. Dalam hal inilah Toyotomi menyalurkan kekuatan dahsyat tersebut untuk menyerang Korea pada tahun 1592 dan 1597. Sayang serangan ini gagal dan Toyotomi wafat pada tahun 1598, menandakan awal kehancuran bakufu Muromachi.

Kecenderungan terdapat perilaku bawahan terhadap atasan yang dikenal dengan istilah gekokujō ini telah muncul tatkala Toyotomi menyerang Korea. Ketika itu, Tokugawa Ieyasu mulai memperkuat posisinya di Jepang bagian timur, khususnya di Edo (Tokyo). Kemelut ini menyulut perang besar antara kelompok-kelompok daimyo yang memihak Toyotomi melawan daimyo yang memihak Tokugawa di medan perang Sekigahara pada tahun 1600. Kemenangan berada di pihak Tokugawa di susul dengan didirikannya bakufu Edo pada tahun 1603.


Samurai di Jaman Edo
Samurai di zaman Edo menjalankan kewajiban melayani tuan tanah feodal masing-masing dengan dua cara. Pertama, menjalankan tugas keprajuritan pada masa damai, yakni menjaga benteng daimyō, mengawal daimyō ketika ia pergi ke Edo dan pulang dari Edo16, dan menyediakan pasukan yang dapat digunakan daimyo untuk menjaga tanahnya.

Namun, setelah Tokugawa berhasil mewujudkan ketertiban di Jepang pada abad ke-17, para samurai ini kebanyakan menjalankan tugas administrasi, dalam hal ini adalah administrasi keuangan seperti menghimpun pendapatan dalam bentuk beras atau uang tunai untuk membayar tunjangan, merawat rumah resmi di Edo, dan membayar biaya perjalanan ke Edo setiap tahunnya.

Karena para samurai tidak dapat lagi diandalkan untuk bertempur, shogun dan daimyō tidak ingin menghilangkan nilai kesetiaan dan keberanian samurai, tetapi perkelahian dan balas dendam turun temurun, sering terjadi dan merupakanbagian dari kehidupan samurai yang tidak sesuai dalam masyarakat aman dan damai yang sedang mereka bangun. Bakufu kemudian menindak tegas pelaku perkelahian dan melarang balas dendam. Untuk mendorong agar para samurai mau menerima perubahan, maka disediakan imbalan. Pada abad ke-18, pejabat mendapat tunjangan tambahan untuk menambah gaji. Pekerjaan yang baik menjadi salah satu pertimbangan untuk naik pangkat, yang membuka kemungkinan untuk naik jabatan.

Selain itu pendidikan moral, etika, dan pengetahuan umum mulai dikenalkan. Sampai saat itu sebagian besar samurai terutama samurai berpangkat tinggi mendapat pendidikan secara individual. Pendidikan tersebut antara lain pengetahuan mengenai etika selain keahlian menggunakan senjata, berikut pengetahuan membaca dan menulis. Peran birokrasi dalam kehidupan telah menjadi norma, para atasan menginginkan nilai-nilai lebih dari seorang samurai. Seperti kaum bangsawan di zaman Nara dan Heian, mereka harus memiliki sikap moral yang “benar” jika mereka ingin mendapat peranan dalam pemerintahan. Terutama harus memahami ajaran-ajaran klasik Konfusius, oleh karena itu bakufu dan para daimyō mulai mendirikan tempat-tempat pendidikan dimana hal-hal tersebut dapat dipelajari. Terdapat lima belas tempat-tempat pendidikan yang didirikan pada tahun 1700.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sejarah membanggakan menjadi warisan budaya yg tak dapat di lupakan
salah satu warna budaya orang jepang sepanjang masa

Posting Komentar