Kamis, 02 Juli 2009

H.A.M

www.tips-fb.com Diposting oleh ilunk

  • Pengertian dan Definisi HAM
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :

1. Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan
yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan
penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat


  • SEJARAH HAM
Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak asasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan.
Mengingat begitu pentingnya proses internalisasi pemahaman Hak Asasi Manusia bagi setiap orang yang hidup bersama dengan orang lainnya, maka suatu pendekatan historis mulai dari dikenalnya Hak Asasi Manusia sampai dengan perkembangan saat ini perlu diketahui oleh setiap orang untuk lebih menegaskan keberadaan hak asasi dirinya dengan hak asasi orang lain.

1. SEJARAH INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of rights melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM dahulu sudah berketatapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Roesseau dan Montesqueu. Jadi, walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam oerut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.
Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakah tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya orang-orany yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas mengelaurkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnyademokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya.
Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p.654 tersebut di bawah ini
"The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world terms, means economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical agression against any neighbor-anywhere in the world."
Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948.

2. SEJARAH NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
Human Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankan Social Rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human Rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban. Contoh : seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah terlebih dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan demikian tidak perlu dipergunakan istilah Social Rights karena kalau kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain.
Ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia harus sesuai dengan latar belakang budaya Indonesia. Artinya, Universal Declaration of Human Rights kita akui, hanya saja dalam implementasinya mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain khususnya negara Barat yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan kita. Memang benar bahwa negara-negara di dunia (tidak terkecualai Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja berpengaruh dalam pelaksanaan HAM. Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi yang bersifat khusus tersebut, maka prinsip-prinsip mendasar HAM yang universal itu dapat dikaburkan apalagi diingkari. Sebab, universalitas HAM tidak identik dengan "penyeragaman". Sama dalam prinsip-prinsip mendasar, tetapi tidak mesti seragam dalam pelaksanaan. Disamping itu, apa yang disebut dengan kondisi bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Artinya, suatu kondisi tertentu tidak dapat dipergunakan sebagai patokan mutlak. Kondisi itu memiliki sifat yang berubah-ubah, dapat dipengaruhi dan diciptakan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, masalahnya adalah kembali kepada siapa yang mengkondisikan dan mengapa diciptakan kondisi seperti itu ?

  • Deviasi Hukum HAM
PRAKTIK penegakan hak asasi manusia hingga kini masih belum menunjukkan performance menggembirakan. Meski norma-norma hak asasi manusia (HAM) sudah sejak lama menjadi spirit dan dasar bernegara, tetapi secara formal pengakuan dan upaya penegakannya baru dilakukan sejak dikeluarkannya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. UU ini adalah pembuka bagi penegakan HAM yang lebih terkonsentrasi. Meski UU ini mereduksi banyak hak yang termuat dalam Hukum Internasional HAM, kehadirannya memberi optimisme bagi penghormatan, pemenuhan, dan pemajuan HAM di Indonesia. UU ini juga memandatkan terbentuknya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), sebagai lembaga independen yang memiliki seperangkat kewenangan bagi penegakan HAM.
SATU tahun setelah UU tentang HAM lahir, diproduksi UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. UU ini dimaksudkan menjadi semacam hukum acara atau hukum formal bagi penegakan hukum yang termuat dalam UU No 39/1999 itu. Sejak itu Komnas HAM dan lembaga peradilan memiliki prosedur kerja yang tersistematis dan formal.
Sejak awal kelahiran, UU ini menimbulkan kontroversi. Sebab, secara substantif UU Pengadilan HAM mengadopsi Statuta Roma, suatu statuta internasional yang menjadi dasar pembentukan International Criminal Court (ICC). Pendasaran pada Statua Roma tidak saja salah kaprah, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara yang memiliki pengadilan HAM. Lahirnya UU Pengadilan HAM merupakan kesuksesan negara memanipulasi dan membiaskan Hukum Internasional HAM menjadi kian absurd. Absurditas yang diidap hukum HAM Indonesia inilah yang mengakibatkan kinerja Komnas HAM dan perangkat peradilan lain, yang mengadili aneka perkara kejahatan kemanusiaan menjadi sia-sia, tidak konstruktif bagi pemajuan HAM di Indonesia.
Daftar kegagalan yang bisa dirujuk misalnya, dari sekian banyak pelaku kejahatan kemanusiaan-yang dalam bahasa publik Indonesia dianggap pelaku pelanggaran HAM-tidak satu pun pelaku menerima hukuman seharusnya. Bahkan, Abilio Soares, satu-satunya terdakwa yang masuk bui, akhirnya dibebaskan Mahkamah Agung dalam Sidang Peninjauan Kembali. Korban sama sekali tidak ada yang menerima hak atas kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
Semua proses panjang pengadilan HAM yang pernah dilakukan di Indonesia tidak memberi implikasi apa pun, baik untuk korban, publik, maupun efek jera untuk aparat negara untuk tidak melakukan pelanggaran HAM. Bahkan dunia internasional pun justru semakin kecewa dengan proses yang terjadi di Indonesia.
HUKUM HAM adalah hukum perdata internasional dengan subyek hukum negara. Dalam hukum perdata internasional para pihak adalah negara. Karena yang mengikat janji adalah negara, pertanggungjawaban atas pelanggaran dan pengingkarannya dibebankan kepada negara. Negara adalah state parties yang terikat secara hukum, jika ia sudah meratifikasi dua kovenan induk dan konvensi-konvensi HAM lainnya. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), sebagai induk hukum internasional HAM, sama sekali tidak menyebut kewajiban dan pertangungjawaban individu. Yang disebut adalah state obligation dan state responsibility.
Dalam UU No 26/2000, pelaku pelanggaran HAM adalah individu dan diadili secara pidana dalam pengadilan pidana HAM. Ini jelas bukan hanya telah terjadi deviasi substantif hukum HAM, melainkan juga memupus tanggung jawab negara dalam setiap pelanggaran HAM yang terjadi.
Kriminalisasi terhadap para pelaku, yang lalu disebut sebagai pelanggar HAM, itu jelas salah kaprah. Aparat negara yang dituduh melakukan pelanggaran HAM tidak bisa dipidana dan dimintai pertanggungjawaban hukum. Sebab, pelaku pelanggar HAM adalah negara. Bagi aparat yang di lapangan, sejatinya dimintai pertanggungjawaban pidana. Jika mereka memenuhi kualifikasi sebagai penjahat kemanusiaan, ia harus dituntut secara pidana, baik melalui peradilan lokal maupun Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Sebagai contoh, dalam kasus Timor Timur (Titim). Di situ terjadi dua pelanggaran hukum. Pertama, negara melanggar HAM karena aktif dan membiarkan aparat negara melakukan tindakan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Di sini negara sah dimintai pertanggungjawaban. Acuan hukum internasionalnya, kovenan dan konvensi tentang HAM.
Kedua, pribadi-pribadi yang terlibat di Timtim, baik pelaku di lapangan maupun pejabat yang mengambil kebijakan, harus dituduh sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan, bahkan genosida, dan harus dimintai pertanggungjawabannya secara pidana. Acuan hukum yang digunakan adalah Konvensi Geneva dan Statuta Roma. Yang terjadi untuk kasus Timtim adalah hanya pelaku kejahatan kemanusiaan yang dimintai pertanggungjawabannya, sementara negara tidak pernah dimintai tanggung jawab. Kalaupun diminta, hanya sebatas kewajiban melakukan proses hukum atas penjahat kemanusiaan. Untuk tindakannya melakukan pelanggaran HAM, dengan sendirinya terkubur, dengan memalingkan tanggung jawab negara menjadi tanggung jawab pribadi-pribadi.
Dosa dan kesalahan negara yang melakukan pelanggaran HAM bisa diwarisi struktur kepemimpinan negara berikutnya. Sebab, dosa itu melekat dalam negara. Sementara dosa penjahat kemanusiaan, hanya bisa ditanggung pribadi-pribadi, tidak bisa diwariskan. Ia akan sirna seiring kematian, bukan berhentinya pelaku kejahatan itu dari jabatan tertentu.
PERTANYAAN yang muncul, bagaimana negara bisa dimintai pertanggungjawban? Inilah tugas besar yang harus diadvokasi. Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM harus dilakukan suatu badan peradilan khusus yang dibuat oleh dan antarnegara yang mengikatkan diri. Di Amerika Serikat, Afrika, dan Eropa, telah ada suatu Regional Court of Human Rights. Sementara di Asia, atau di kawasan ASEAN, sampai saat ini masih sebatas gagasan.
Dalam pengadilan HAM, perkara yang diadili adalah perkara perdata bukan pidana. Pihak yang berperkara adalah korban melawan negara. Karena proses keperdataan, sanksi hukum yang dijatuhkan majelis hakim berupa kompensasi atau ganti rugi dan perintah perubahan kebijakan yang jauh lebih melindungi hak warga.
Selain pembiasan sistemik yang diakibatkan UU No 26/2000, UU ini pun lahir di tengah krisis politik negeri ini. Karena itu, perubahan atas UU itu merupakan keharusan. Perubahan itu tidak semata-mata dapat meluruskan pembiasan, ia juga akan mengembalikan tanggung jawab negara untuk bertanggung jawab atas penegakan HAM, yang selama ini ditimpakan kepada individu-individu.
Di atas segalanya, komitmen politik untuk mengubah aneka kebijakan yang menghalangi tegaknya HAM harus ditumbuhkan. Advokasi HAM sudah sepatutnya tidak melulu berorientasi pada bagaimana seorang penjahat kemanusiaan diseret ke pengadilan, tetapi juga bagaimana kebijakan itu berubah dan melindungi HAM, termasuk memberikan keadilan, melalui proteksi, kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi bagi korban.

  • Contoh kasus pelanggaran HAM
1. Trisakti, Semanggi I dan II
Tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998 menjadi pemicu kerusuhan sosial yang mencapai klimaksnya pada 14 Mei 1998. Tragedi dipicu oleh menyalaknya senapan aparat yang menewaska empat mahasiswa Trisakti. Kerusuhan, menurut laporan Relawan Kemanusiaan, tidak berlangsung begitu saja. Fakta yang aneh, menurut mereka, setelah terjadi aksi kerusuhan yang sporadis, aparat tampak menghilang,sementarasebagian kecil saja hanya memandangi aksi penjarahan yang berlangsung didepan mereka.
Masih menurut laporan Relawan, kerusuhan itu tampak direkayasa. Aksi itu dipimpin oleh sekelompok provokator terlatih yang memahami benar aksi gerilya kota. Secara sporadis mereka mengumpulkan dan menghasut massa dengan orasi-orasi. Ketika massa mulai terbakar mereka meninggalkan kerumunan massa dengan truk dan bergerak ke tempat lain untuk melakukan hal yang sama.
Dari lokasi yang baru, kemudian mereka kembali ke lokasi semula dengan ikut membakar, merampon mal-mal. Sebagian warga yang masih dalam gedung pun ikut terbakar. Data dari Tim Relawan menyebutkan sekurangnya 1190 orang tewas terbakar dan 27 lainnya tewas oleh senjata.
Tragedi Trisakti kemudian disusul oleh tragedi semanggi I pada 13 November 1998. Dalam tragedi itu, unjuk rasa mahasiswa yang dituding mau menggagalkan SI MPR harus berhadapan dengan kelompok Pam Swakarsa yang mendapat sokongan dari petinggi militer.Pam Swakarsa terdiri dari tiga kelompok, dari latar belakang yang berbeda. Pembentukan Pam Swakarsa belekangan mendapat respon negatif dari masyarakat. Mereka kemudian mendukung aksi mahasiswa, yang sempat bentrok dengan Pam Swakarsa.

Dalam tragedi Semanggi I yang menewaskan lima mahasiswa, salah satunya Wawan seorang anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan ini, tampak tentara begitu agresif memburu dan menembaki mahasiswa.Militer dan polisi begitu agresif menyerang mahasiswa, seperti ditayangkan oleh sebuah video dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR Selasa 6 Maret 2001.
Rekaman itu memperlihatkan bagaimana polisi dan tentara yang berada di garis depan berhadapan dengan aksi massa mahasiswa yang tenang. Pasukan AD yang didukung alat berat militer ini melakukan penembakan bebas ke arah mahasiswa.
Para tentara terus mengambil posisi perang, merangsek, tiarap di sela-sela pohon sambil terus menembaki mahasiswa yang berada di dalam kampus. Sementara masyarakat melaporkan saat itu dari atap gedung BRI satu dan dua terlihat bola api kecil-kecil meluncur yang diyakini sejumlah saksi sebagai sniper. Serbuan tembakan hampir berlangsung selama dua jam. Satu tahun setelah itu, tragedi Semanggi II terjadi. Dalam kasus ini 10 orang tewas termasuk Yun Hap, 22, mahasiswa Fakultas Teknik UI, ikut tewas. Insiden ini terjadi di tengah demonstrasi penolakan mahasiswa terhadap disahkannya RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Kasus ini, menurut Hermawan Sulistyo dari Tim Pencari Fakta Independen menyebut seperti sudah diperkirakan sebelumnya oleh aparat. Dia menurutkan begini; ''Yun Hap ditembak pukul 20:40 oleh konvoi aparat keamanan yang menggunakan sekurangnya enam truk militer yang mendekat dari arah Dukuh Atas. Konvoi menggunakan jalan jalur cepat sebelah kanan alias melawan arus. Paling depan tampak mobil pembuka jalan menyalakan lampu sirine tanpa suara. Sejak masuk area jembatan penyeberangan di depan bank Danamon, truk pertama konvoi mulai menembak. Sejumlah saksi mata melihat berondongan peluru dari atas truk pertama, menyusul tembakan dari truk-truk berikutnya.''Berdasarkan fakta di lapangan TPFI menegaskan tidak mungkin ada kendaraan lain selain kendaraan aparat. Sebab, jalur cepat yang dilalui truk-truk itu masih ditutup untuk umum. Lagi pula truk-truk itu bergerak melawan arus, jadi tidak mungkin ada mobil lain yang mengikuti.Kini akibat peristiwa itu, sejumlah petinggi TNI Polri sedang diburu hukum. Mereka adalah Jenderal Wiranto (Pangab), Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin (mantan Pangdam Jaya), Irjen (Pol) Hamami Nata (mantan kapolda Metro Jaya), Letjen Djaja Suparman (mantan Pangdan jaya) dan Noegroho Djajoesman (mantan Kapolda Metro Jaya).
2. Tragedi Tanjung Priok
Tragedi ini terjadi pada September 1984. Saat itu hampir tengah malam, tiga orang juru dakwah, Amir Biki, Syarifin Maloko dan M. Nasir berpidato berapi-api di jalan Sindang Raya, Priok.Mereka menuntut pembebasan empat pemuda jamaah Mushala As-Sa'adah yang ditangkap petugas Kodim Jakarta Utara.
Empat pemuda itu digaruk tentara karena membakar sepeda motor Sertu Hermanu. Anggota Babinsa Koja Selatan itu hampir saja dihajar massa jika tak dicegah oleh seorang tokoh masyarakat di sana.Ketika itu, 7 September 1984, Hermanu melihat poster ''Agar para wanita memakai pakaian jilbab.' Dia meminta agar poster itu dicopot.Tapi para remaja masjid itu menolak. Esoknya Hermanu datang lagi, menghapus poster itu dengan koran yang dicelup air got. Melihat itu, massa berkerumun, tapi Hermanu sudah pergi. Maka beredarlah desas-desus 'ada sersan masuk mushola tanpa buka sepatu dan mengotorinya.' Massa rupanya termakan isu itu. Terjadilah pembakaran sepeda motor itu. Maka, pengurus Musholla pun meminta bantuan Amir Biki, seorang tokoh di sana agar membebaskan empat pemuda yang ditahan Kodim itu. Tapi ia gagal, dan berang. Ia lantas mengumpulkan massa di jalan Sindang Raya dan bersama-sama pembicara lain, menyerang pemerintah. Biki dengan mengacungkan badik, antara lain mengancam RUU Keormasan.
Pembicara lain, seperti Syarifin Maloko, M. Natsir dan Yayan, mengecam Pancasila dan dominasi Cina atas perekonomian Indonesia. Di akhir pidatonya yang meledak-ledak, Biki pun mengancam, ''akan menggerakkan massa bila empat pemuda yang ditahan tidak dibebaskan.'' Ia memberi batas waktu pukul 23.00. Tapi sampai batas waktu itu, empatpemuda tidak juga dibebaskan.Maka, Biki pun menggerakkan massa. Mereka dibagi dua; kelompok pertama menyerang Kodim. Kelompok kedua menyerang toko-toko Cina. Bergeraklah dua sampai tiga ribu massa ke Kodim di jalan YosSudarso, berjarak 1,5 Km dari tempat pengerahan massa.
Biki berjalan di depan. Tapi di tengah jalan, depan Polres Jakarta Utara, mereka dihadang petugas. Mereka tak mau bubar. Bahkan tak mempedulikan tembakan peringatan. Mereka maju terus,menurut versi tentara, sambil mengacung-acungkan golok dan celurit.
Masih menurut sumber resmi TNI, Biki kemudian berteriak, Maju...serbu...' dan massa pun menghambur. Tembakan muntah menghabiskan banyak sekali nyawa. Biki sendiri tewas saat itu juga.Keterangan resmi pemerintah korban yang mati hanya 28 orang. Tapi dari pihak korban menyebutkan sekitar tujuh ratus jamaah tewas dalam tragedi itu. Setelah itu, beberapa tokoh yang dinilai terlibat dalam peristiwa itu ditangkapi; Qodir Djaelani, Tony Ardy, Mawardi Noor, Oesmany Al Hamidy. Ceramah-ceramah mereka setahun sebelumnya terkenal keras; menyerang kristenisasi, penggusuran, Asaa Tunggal Pancasila, Pembatasan Izin Dakwah, KB, dan dominasi ekonomi oleh Cina.
Empat belas jam setelah peristiwa itu, Pangkopkamtib LB Moerdani didampingi Harmoko sebagai Menpen dan Try Sutrisno sebagai Pangdam Jaya memberikan penjelasan pers. Saat itu Benny menyatakan telah terjadi penyerbuan oleh massa Islam di pimpin oleh Biki, Maloko dan M. Natsir. Sembilan korban tewas dan 53 luka-luka, kata Benny.
3. Perdebatan mengenai Pelanggaran HAM yang akan menjadi wewenang KKR
Belakangan ini memang muncul pendapat bahwa kekerasan yang terjadi di tanah air perlu diungkap dengan dua tujuan. Pertama, agar kejadian itu tidak terulang. Kedua, terciptanya rekonsiliasi antara kelompok masyarakat yang menjadi korban dan pelaku kekerasan.

Dengan begitu, pengungkapan kebenaran adalah prasyarat rekonsiliasi. Rekonsiliasi berarti mengungkap kebenaran, mengakui kesalahan dan memaafkan semua itu. Dengan begitu, omong kosong terjadi rekonsiliasi tanpa mengungkap kebenaran. Menteri Pertahanan Kabinet Gus Dur, Mahfud MD, pernah mengusulkan agar kasus Soeharto ''diputihkan'' saja, demi menjaga keutuhan bangsa. Gagasan ini tentu bertolak belakang dengan prinsip dasar kebenaran dan rekonsiliasi. Menteri ini lebih mengedepankan prinsip ''rekonsiliasi tanpa mengungkap kebenaran''. Bila ini dijalankan, rasa keadilan masyarakat terinjak.

Debat mengenai wilayah dan jangkauan waktu kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bukan persoalan gampang. Masalah ini menyangkut soal kewenangan, bahkan kredibilitas KKR. Yang menjadi pertanyaan kemudian, bagaimana periodisasi peristiwa dalam kerangka penyelesaian kasus kejahatan HAM?
Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam sempat melontarkan pertanyaan itu. Pada wilayah mana KKR bekerja, tergantung jawaban atas pertanyaan: ''Sejak kapan terjadi pelanggaran HAM di negeri ini?'' Bagi Asvi, peristiwa politik di Istana Tumapel, dengan tewasnya Tunggul Ametung pada abad XIII bisa masuk kriteria pelanggaran HAM. ''Karena saat itu pertikaian politik berakhir dengan pembunuhan politik,'' katanya tandas.

Kekerasan, tambah Asvi, juga terjadi di kerajaan lain. Meski perlu pembuktian sejarah lebih lanjut, Asvi menuturkan bahwa pada tingkat elit, Sultan Iskandar Muda yang memerintah kerajaan Samudra Pasai tahun 1607-1636, di samping memiliki beberapa kehebatan, oleh seorang Laksamana Perancis, Beaulieu, dikenang sangat kejam. ''Karena sang Sultan tega menyiksa perempuan sampai tiga jam lebih.'' Tapi apakah kerajaan Tumapel atau Samudra Pasai saat itu sudah merupakan bagian dari negara Indonesia?
Fenomena kekerasan lain bisa dilihat saat Belanda berkuasa di Indonesia. Menurut Profesor Henk Schulte Nordholt dari Universitas Amsterdam, pemerintah kolonial Belanda berperan besar atas munculnya budaya kekerasan di Indonesia. Pada 1885-1910 sebanyak 100.000-125.000 orang tewas menjadi korban pemerintah kolonial Belanda. Korban paling banyak di Aceh. Karena saat itu Belanda mengirimkan pasukan Marsose (brigade khusus seperti Kopassus) yang menewaskan 75.000 warga sipil Aceh. Tindakan ini diambil untuk mempertahankan stablitas politik dan keamanan di wilayah jajahan Belanda.

Sementara Asvi menambahkan, KKR memang bisa saja mengusut pelanggaran HAM sampai ke zaman penjajahan Belanda. Begitupun kekerasan yang terjadi di zaman pendudukan Jepang, kekejaman terhadap Romusha, maupun terhadap jugun ianfu, perempuan pribumi yang menjadi penghibur tentara Jepang. Kasus yang terakhir, menurut Asvi, ''Sampai sekarang belum selesai.'' Meski begitu, semua itu tidak ada kaitannya dengan rekonsiliasi nasional yang kita inginkan. ''karena itu saya berpendapat pengususutan itu hendaknya dilakukan setelah Indonesia merdeka''.

Onghokham mempunyai pandangan lain. Menurutnya, meski kekerasan yang bersifat sistematis itu bisa dibilang telah dimulai sejak pada masa kolonial Belanda, korban kekerasan pasca 1965 jauh lebih besar daripada masa sebelum kemerdekaan. Dengan kata lain, masih pendapat pakar sejarah Indonesia ini, masa 350 tahun keberadaan Belanda di Indonesia memakan korban lebih sedikit daripada 35 tahun Indonesia saat diperintah oleh bangsa sendiri.

Memang kini muncul pandangan bahwa periodisasi peristiwa yang harus diselidiki KKR adalah 1 Oktober 1965 sampai Oktober 1999. Daniel Dhakidae, salah satu pengamat yang mendukung pandangan itu. ''Peristiwa 1 Oktober 1965 itu merupakan simpul pertama yang menjadi awal segala kekacauan selama ini,'' katanya. Simpul kedua, masil menurut Daniel, adalah ketidakadilan terhadap kelompok Islam, termasuk Tragedi Tanjung Priok dan Lampung. Sedangkan simpul terakhir adalah semua kasus HAM belakangan, mulai dari peristiwa penghilangan mahasiswa. ''Juga termasuk kejahatan HAM di Aceh, Timtim, dan Papua.''

Meski begitu, tegas Asvi, periodisasi yang diusulkan Daniel, rawan protes masyarakat. ''Karena bisa muncul kesan bahwa KKR melindungi para PKI.'' Karena itu, Asvi pun mengusulkan agar periodisasi itu diusulkan dimulai dari Juli 1959 sampai Mei 1998.
Tanggal 5 Juli 1959, menurut peneliti LIPI ini, adalah dikeluarkannya Dekrit Presiden Soekarno yang menandai dimulainya zaman demokrasi terpimpin. Sejarah mencatat, sebelumnya Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden mengundurkan diri, sehingga Soekarno saat itu menjadi pemegang kekuasaan tunggal. ''Dengan begitu pada masa itulah kekuasaan mulai memusat pada negara, bukan lagi pada masyarakat. Dengan demikian, ''Investigasi mencakup dua rezim, rezim Soekarno (dari era demokrasi terpimpin, 5 Juli 1959 sampai 31 September 1965) dan rezim Soeharto (sepanjang Orde Baru i Oktober 1965 sampai 22 Mei 1998).
Meski begitu, Asvi menyatakan, usulan periodisasi itu tidaklah absolut. Kalaulah pada 1959 tidak disetujui, bisa saja dipakai acuan mulai 17 Agustus 1945. Menetapkan awal periodisasi lebih mudah daripada menentukan akhir periodi. Bagi Asvi, investigasi itu cukup sampai 1998. Tapi, mungkin dengan alasan-alasan tertentu ada pihak lain yang menginginkan sampai kasus Semanggi II pada 1999.
Seperti diketahui, dalam periodisasi itu (1959-1998) terjadi beberapa peristiwa pelanggaran berat HAM dalam sejarah Indonesia. Kejadian-kejadian itu antara lain;
• Ekses demokrasi terpimpin berupa aksi sepihak kelompok kiri dan penangkapan tokoh- tokoh Masyumi/PSI dengan korban terutama dari pihak Islam.
• Pembantaian 1965/1966 dengan korban kelompok Komunis.
• Penahanan politik di kamp pulau Buru (1969-1979) dengan korban kelompok Komunis.
• Kasus Komando Jihad era 1980-an dengan korban kelompok Islam.
• Kasus Timor Timur dengan korban warga sipil.
• Kasus Aceh dengan korban sipil.
• Kasus Papua dengan korban sipil.
• Penembakan misterius dengan korban preman jalanan.
• Kasus Tanjung Priok, korban kelompok Islam.
• Kasus Lampung, korban kelompok Islam.
• Peristiwa 27 Juli 1996, korban simpatisan/warga PDI Perjuangan dan kerusuhan Mei 1998, korban masyarakat luas terutama kaum Tionghoa.

Problem wewenang KKR tidak hanya pada tingkat penetapan periodisasi peristiwa. Tapi, menjadi ''aneh'' bila rekonsiliasi tercapai. Rekonsiliasi itu antara siapa dengan siapa?

Dari segi jumlah korban, kekerasan sebelum 1965 jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan korban pembantaian pasca G30S. Mungkin, masih ulas Asvi, konflik horizontal antara kelompok masyarakat dapat didamaikan. Tapi kejahatan negara terhadap masyarakat tetap harus diusut. Termasuk kejahatan negara itu adalah operasi militer, terutama yang dilakukan di Jawa Tengah dalam rangka membasmi PKI sampai akar-akarnya.
Asvi menambahkan, rekonsiliasi itu, kalaulah ada, hendaknya lintas ideologi (antara orang Islam dengan kelompok eks komunis), lintas etnis (contoh Dayak-Madura, kelompok Bugis-Buton-Madura (BBM) dengan berbagai suku di Irian Jaya. Di samping itu etnis Tionghoa perlu dilibatkan dalam berbagai sektor sebagaimana etnis lain di Indonesia), lintas pemeluk agama (Ambon Islam dengan Ambon Kristen).
Tetapi yang paling krusial, tambah Asvi, adalah rekonsiliasi antara sipil dengan militer. Hampir semua pemberontakan yang terjadi sepanjang sejarah tentu melibatkan kelompok bersenjata (militer atau elit militer). Semua kekerasan berdarah sejak Indonesia merdeka juga menyangkut pihak militer. Dan, yang selalu menjadi korban adalah pihak sipil (tentu ditambah sedikit dari militer). Hubungan sipil-militer itu yang akan menentukan apakah di masa datang masih akan terjadi pelanggaran berat HAM.
Melihat berbagai kerumitan ini, untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat, kita memang kelihatannya harus bersabar untuk menunggu hasil akhir pembahasan RUU KKR oleh para wakil rakyat di Senayan itu. Apapun sudah selayaknya, semua pihak mendorong agar RUU itu segera bisa selesai. Dengan begitu harapan akan keadilan, kepuasan, dan mungkin rekonsiliasi bisa terwujud segera.

0 komentar:

Posting Komentar