Sabtu, 27 Juni 2009

PENCEMARAN UDARA DAN MANAJEMEN LALU LINTAS

www.tips-fb.com Diposting oleh ilunk

Nanny Kusminingrum
Puslitbang Jalan dan Jembatan, Jl. A.H. Nasution 264 Bandung

PENDAHULUAN
Bagi banyak dae
rah perkotaan, terutama kota-kota besar, permasalahan pencemaran udara telah menjadi satu permasalahan yang akut. Kualitas udara di perkotaan, tanpa disadari sebenarnya telah menurunkan kualitas hidup masyarakatnya sendiri. Satu contoh kasus, Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia,sekaligus kawasan perkotaan terbesar di Indonesia, tidak lepas dari masalah ini. Bahkan, bisa dibilang mengalami permasalahan paling parah dalam hal kualitas udara. Gejala-gejala telah terjadinya pencemaran udara itu sebenarnya kasat mata, dapat terlihat dengan jelas. Hanya saja, tidak semua pihak menyadarinya. Untuk Jakarta yang sudah parah tingkat pencemaran udaranya, di pagi hari seringkali langit terlihat berawan, tapi tidak akan menurunkan hujan. Awan itu sebenarnya tak lain dari akumulasi partikel-partikel polutan udara yang naik, mengambang di udara bebas.Contoh lain yang lebih sederhana, pepohonan di pinggir jalan, pagar-pagar rumah, kain spanduk dan sebagainya, seringkali menghitam dan tertutupi warna aslinya oleh jelaga-jelaga debu maupun polutan lain. Warna hitam sebenarnya menunjukkan adanya carbon, unsur yang banyak terdapat pada polutan udara. Selain itu, Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia semakin lama terasa amat panas. Pada siang hari, sinar matahari terasa amat menyengat. Kondisi ini akan semakin parah pada musim kemarau. Udara akan semakin pengap dan menyesakkan napas.Setiap manusia bernafas, seorang dewasa rata-rata menghirup lebih dari 3.000 gallon (11,4 m3) udara setiap hari. Udara yang dihirup, jika tercemar oleh bahan berbahaya dan beracun, akan berdampak serius pada kesehatan manusia, terutama anak-anak yang lebih banyak bermain di udara terbuka dan lebih rentan daya tahan tubuhnya. Selain menyebabkan kanker dan penyakit saluran pernafasan, polutan udara juga dapat menyebabkan smog (kabut polusi), hujan asam, mengurangi daya perlindungan lapisan ozon di atmosfer bagian atas, dan berpotensi untuk turut berperan dalam perubahan iklim dunia (efek rumah kaca). (http://www.tlitb.org/plo/udara.html)

POLUSI UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR DI INDONESIA

Ada tujuh pencemar utama dalam pencemaran udara, yaitu Partikulat (partikel debu), Sulfur Dioksida (SO2), Ozone Troposferik, Karbon monoksida (CO), Nitrogen Dioksida (NO2), Hidrokarbon (HC) dan Timbal (Pb), (http://www.tlitb.org/plo/udara.html) Di kota-kota besar di Indonesia, sebagian besar unsur- unsur ini telah berada di ambang batas yang dapat ditolerir untuk kesehatan manusia (Widiastono, 2003). Contohnya dari hasil kegiatan Puslitbang Jalan dan Jembatan pada tahun 1999, konsentrasi NOx rata-rata pada lokasi monitoring di kota Bandung = 0,063 ppm, Surabaya = 0,077 ppm, Yogyakarta = 0,054 ppm (Gunawan dkk, 1999). Dan monitoring tahun selanjutnya (Nanny dkk, 2000), menunjukan bahwa diRaya Kuta Denpasar = 0,07 ppm, di Medan = 0,067 ppm. Angka tersebut sudah melampaui batas yang disyaratkan dalam Standar Baku Mutu Udara Ambien untuk NOx yaitu sebesar 0,05 ppm (Kep.02/MENKLH/1998). Sumber utama pencemaran itu terutama berasal dari gas buang kendaraan bermotor, terutama untuk karbon monoksida, hidrokarbon, partikulat dan timbal. Hidrokarbon bahkan dikatakan lebih dari 90%-nya berasal dari asap kendaraan bermotor.Sebagai contoh, dapat kita lihat kondisi di Jakarta dan Surabaya. Data dari Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menyebutkan, pada tahun 2003 lalu ada 4,48 juta unit kendaraan (sekitar 2,3 juta unit motor, 1,2 juta unit mobil, 370.800 truk, dan 254.900-an unit bus) yang setiap hari memenuhi jalan raya. Dari jumlah itu, tidak seluruh kendaraan dalam kondisi mesin yang bagus. Bahkan, setiap hari kita masih bisa menyaksikan bus kota atau truk menyemburkan asap hitam pekat (lihat Gambar 1).


Gambar 1. Gas buang dari kendaraan

Surabaya pun mengalami permasalahan yang sama. Jumlah kendaraan yang terdata di Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Kepolisian Wilayah kota Besar(Polwiltabes) Surabaya pada tahun 2003 mencapai 1.000.042 unit. Jumlah itu terdiri dari 202.882 unit mobil penumpang, 72.106 unit mobil beban (pick-up dan truk), 932 unit mobil penumpang besar(bus) dan 724.122 unit kendaraan roda dua, (Indrastuti, 2003). Kondisi ini diperparah dengan tidak seimbangnya panjang jalan dengan jumlah kendaraan di kedua kota tersebut. Tanda-tandanya tampak dari semakin banyaknya titik-titik kemacetan, terutama pada setiap hari kerja. Pada situasi kemacetan ini terjadi “stop and go” , dimana kendaraan berhenti (“stop”) karena terhalang oleh kendaraan diepannya, lalu maju (“go”) karena kendaraan di depannya maju. Dan seterusnya hal ini terjadi, sesuai situasi kemacetan yang ada. Pada saat “stop” berarti terjadinya pengurangan kecepatan dengan bantuan pengereman. Kevakuman dalam ruang bakar menjadi meningkat dan kuat, yang menyebabkan penyalaan berhenti. Hal ini mengakibatkan substansi Hidro Carbon tidak terbakar dan dikeluarkan ke udara melalui saluran buang. Akibatnya konsentrasi CO dan HC dalam gas buang meningkat tajam. Namun karena pengapian gagal, dimana suhu pembakaran menurun, maka konsentrasi NOx dalam gas buang pun menurun (Swiss Contact,------). Selanjutnya dikatakan bahwa pada saat “go”, berarti ada penambahan kecepatan dan pedal gas ditekan, sehingga throttle membuka dengan lebar. Hal ini menyebabkan jumlah bahan bakar yang terisap oleh mesin semakin banyak. Konsentrasi CO dan HC pun meningkat tajam. Ketika putaran mesin meningkat, kecepatan pembakaran juga semakin tinggi Hal ini menyebabkan suhu pembak aran naik dan konsentrasi NOx semakin tinggi seiring kenaikan suhu pembakaran. Kemacetan merupakan penyumbang terbesar polusi udara, yang terkonsentrasi di satu area (titik kemacetan), lihat Gambar 2. Untuk itu, dibutuhkan suatu kondisi jalan dimana pemakai jalan tidak dapat memacu kendaraannya terlalu cepat akan tetapi tidak berhenti (mengurangi titik kemacetan).

gambar 2. Kemacetan Lalu Lintas


BERBAGAI UPAYA DALAM MENGURANGI TINGKAT PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR

Selama ini,metode pemecahan masalah kemacetan di Indonesia masih berkisar pada penambahan atau pelebaran jalan. Solusi tersebut mungkin merupakan solusi yang paling cepat bisa dilakukan. Akan tetapi, dalam hal pencemaran udara, langkah penambahan/pelebaran jalan bisa jadi justru memperparah keadaan. Pelebaran jalan, apabila menembus jalur hijau di tepi jalan, berarti mengurangi jumlah pepohonan secara langsung. Sementara jumlah ruang terbuka hijau di kota-kota besar di Indonesia juga sudah sangat memprihatinkan. Padahal, pepohonan merupakan satu-satunya filter alami untuk mengurangi efek polusi udara. Adapun penambahan jalan sebenarnya merupakan solusi yang bersifat jangka pendek, karena dalam jangka panjang, penambahan jalan justru akan mendorong masuknya kendaraan-kendaraan bermotor lain yang kemudian akan menimbulkan kemacetan-kemacetan baru. Dalam menyikapi permasalahan polusi udara ini, ada beberapa cara yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah, yaitu :

a. Penggunaan Bahan Bakar Alternatif

Upaya untuk memperbaiki udara dan cuaca global salah satunya adalah dengan memakai sumber energi yang tidak lagi berasal dari dalam bumi seperti bahan bakar minyak, yang hasil pembakarannya berpengaruh buruk terhadap lingkungan.Hidrogen sebagai salah satu alternatif bahan bakar dapat dipertimbangkan karena gas buangnya tidak merusak lingkungan. Selain itu, di Indonesia sendiri sudah mulai dikembangkan tanaman jarak sebagai salah satu alternatif sumber energi.Selain itu, dapat dikembangkan “sel bahan bakar”. Sel bahan bakar ini merupakan perangkat untuk mengubah bahan bakar menjadi listrik secara kimiawi, mirip baterai. Model-model mutakhirnya dapat mencapai efisiensi sekitar 40% lebih dari dua kali lipat tingkat efisiensi mesin mobil rata-rata. Karena sel-sel itu beroperasi dengan menggunakan gas alam atau bahan bakar yang bersih lainnya, maka emisi sulfur dioksida danbenda-benda partikulatnya nol.Meski begitu, kenyataannya diIndonesia, sumber-sumber bahan bakar alternatif ini masih jauh dari penggunaan secara masif. Begitupun kendaraan-kendaraan baru yang bermunculan belum kompatibel untuk tipe bahan bakar seperti ini. Akan tetapi, dalam jangka panjang, dapat diprediksi bahwa teknologi kendaraan bermotor di masa depan akan mengarah ke penggunaan bahan bakar alternatif, mengingat semakin menipisnya cadangan minyak bumi dunia,(http://www.usembassyjakarta.org/ ptp/udarkt3.html).

b. Penambahan Ruang Terbuka Hijau

Pepohonan merupakan filter alami untuk polusi udara. Hal ini dapat dilihat bahwa semakin berkurangnya ruang terbuka hijau di kota-kota besar di Indonesia berdampak secara signifikan pada kenaikan suhu udara dan kualitas udara.Meski begitu, mengingat keterbatasan lahan dan tingginya persaingan guna lahan di kota-kota besar, nampaknya cukup sulit untuk mewujudkan strategi ini, kecuali dengan political will yang kuat dari pemerintah dan masyarakat.

c. Perubahan Kultur Kerja Masyarakat
Strategi ini banyak diterapkan di negara-negara maju untuk mengurangi waktu dan titik kemacetan.Strategi ini dilatarbelakangi identifikasi terhadap waktu-waktu utama terjadinya kemacetan, yaitu pada pagi hari (saat masyarakat mulai berangkat kerja) dan sore hari (saat masya
rakat pulang kerja).Secara sistematis dapat diatur perbedaan jam kerja terhadap perusahaan-perusahaan di satu kota. Misalnya dengan memulai jam kerja atau sekolah satu atau dua jam lebih awal, atau dengan mengakhirinya lebih awal, dan dengan demikian mengurangi kepadatan lalu lintas pada pagi dan sore hari.Kultur lain yang saat inisedang banyak dikembangkan di negara-negara maju, terutamanegara-negara dengan teknologi informasi dan telekomunikasi yang tinggi, adalah ”kerja jarak jauh”(telecommuting). Sistem inimengizinkan karyawan bekerja di rumah dengan menggunakan telepon dan komputer (internet), sehinggaakan mengurangi biaya tambahan kantor dan sekaligus menghemat waktu dan uang para karyawan. Selain itu,tentu juga akan mengurangi pergerakan dan jumlah kendaraan bermotor di jalan-jalan raya.Dari suatu studi yang dilakukan oleh Asosiasi Pemerintahan California Selatan (http://www.usembassyjakarta. org / ptp/udarkt3.html) ditemukan bahwa jika satu dari delapan karyawan memilih untuk bekerja di rumah, atau di stasiun kerja ”satelit” yang dihubungkan secara elektronis dengan kantor pusat, maka kemacetan lalu lintas di jalan-jalan raya daerah tersebut dapat dikurangi hampir sepertiganya Meski begitu, mengingat teknologi telekomunikasi di Indonesia yang masih belum secanggih negara-negara lain (dan tingkat melek internet yang masih rendah), nampaknya skema telecommuting ini masih akan memakan waktu lama untuk bisa diwujudkan. Selain tiga strategi di atas,

solusi lain yang dapat ditawarkan untuk mengurangi tingkat pencemaran udara dari kendaraan bermotor adalah dengan manajemen lalu lintas secara langsung. Untuk itu, strategi ini akan dibahas khusus pada bab tersendiri di bawah ini.

MANAJEMEN LALU LINTAS DALAM UPAYA MENGURANGI TINGKAT PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR

Manajemen lalu lintas dalam upaya mengurangi pencemaran udara dari kendaraan bermotor didasarkan pada strategi untuk mengurangi konsentrasi kendaraan di satu waktu tertentu, kawasan tertentu, maupun untuk mengurangi kemacetan. Berbagai inovasi dalam pengaturan manajemen lalu lintas telah dilakukan di berbagai negara

(termasuk di Jakarta, Indonesia).Secara garis besar,manajemen lalu lintas ini dapat kita bagi kedalam dua bagian. Pertama, manajemen yang mempengaruhi arus lalu lintas, dan kedua adalah manajemen yang mempengaruhi penggunaan moda transportasi.

1. Manajemen yang Mempengaruhi

Arus Lalu Lintas Beberapa contoh dari kelompok pertama ini adalah sebagai berikut :

a. Larangan Masuk.Pada tahun 1977 Buenos Airesmelarang kendaraan pribadi

memasuki jalan-jalan pusat keramaian kota dari pukul 10 pagi sampai 7 malam pada hari-hari kerja. Bus dan taksi diperbolehkan hanya pada beberapa jalan tertentu. Larangan ini mengatasi kepadatan lalu lintas dan pencemaran udara yang disebabkan oleh satu juta orang yang memadati pusat kota Buenos Aires setiap hari kerja. Pada awalnya barikade polisi digunakan untuk melaksanakan larangan ini, saat ini rambu-rambu kecil yang menjelaskan kebijaksanaan ini sudah memadai. Larangan bagi mobil secara sebagian atau total sudah pula diberlakukan di sebagian besar kota besar Italia, termasuk Roma, Florensia, Napoli, Bologna, dan Genoa dan di kota-kota kecil. Dari pukul 7.30 pagi sampai 7.30 malam, hanya bus, taksi, kendaraan pengirim barang, dan mobil-mobil pemilik rumah di daerah itu yang boleh memasuki daerah pusat Roma dan Florensia. Larangan serupa juga diberlakukan di Athena, Amsterdam,Barcelona,Budapest,Kota Mekiko,dan Munich (http://www.usembassyjakarta. org / ptp/udarkt3.html). Dalam waktu sepuluh tahun mendatang Bordeaux, Prancis, berniat menghapus kendaraan bermotor dari separo jalan-jalan di kota ini, dan memberikan jalan-jalan itu pada para pejalan kaki dan pengendara sepeda.

b. Larangan Parkir.

Larangan parkir membatasi jumlah mobil yang boleh parkir di suatu daerah, tapi tidak berpengaruh apapun pada jumlah mobil yang boleh lewat. Salah satu cara untuk mengatasi masalah yang diakibatkan oleh berlimpahnya kendaraan adalah sama sekali melarang semua kendaraan memasuki pusat-pusat kota. "Zona bebas mobil", sebagai suatu cara untuk mengurangi pencemaran udara, menggalakkan

pariwisata, dan meningkatkan kualitas kehidupan, akhir-akhir ini semakin populer di Eropa. Pengalaman yang terjadi di AS lebih terbatas; zona pembatasan mobil biasanya hanya berlaku pada daerah pariwisata atau pertokoan kecil, dan hanya berdampak kecil pada pola transportasi kota secara keseluruhan.

c. "Sel" Lalu Lintas.

Gothenburg, Swedia, membagi pusat kotanya menjadi lima sektor berbentuk "pastel" pada 1970 sebagai suatu cara untuk membatasi lalu lintas yang lewat dan menggalakkan transportasi umum. Kendaraan darurat, angkutan lokal masal, sepeda dan moped dapat melintas dari satu zona ke zona lain, tapi mobil tidak dapat. Berkurangnya kepadatan di pusat kota Gothenburg telah menimbulkan layanan transit yang lebih baik dan tingkat kecelakaan yang lebih rendah. Pendekatan yang disebut "sel lalu lintas" ini, yang berasal dari Bremen, Jerman,juga digunakan diGroningen, Belanda, dan Besancon, Prancis,(http://www.usembassyjakarta.org/pt p/udarkt3.html).

d. ”Three in One”.

Strategi yang diterapkan di Jakarta ini sebenarnya sama dengan strategi larangan masuk, akan tetapi filterisasi kendaraan yang boleh memasuki pusat-pusat kegiatan dilakukan dengan melihat jumlah penumpang.

2. Manajemen yang Mempengaruhi

Penggunaan Moda Transportasi Beberapa contoh dari kelompok pertama ini adalah sebagai berikut :

a. Peningkatan Mutu, Jumlah,

dan Jenis Angkutan Umum.Angkutan umum, terutamayang bersifat transportasi massal dikawasan perkotaan merupakan salah satu strategi yang bisa diterapkan untuk menekan jumlah kendaraan di pusat-pusat kegiatan. Denganadanya angkutan umum yang memadai, diharapkan pengguna kendaraan pribadi akan beralih ke angkutan umum ini Untuk itu,mutu dan pelayanan angkutan umum perlu menjadi fokus perhatian utama, dengan pemberian subsidi yang cukup dari pemerintah untuk bisa menekan harga. Harga memegang peranan penting untuk mendorong peralihan moda ini. Pilihan moda untuk angkutan umum ini bisa beragam, mulai dari Light Rail Transport (LRT) semacam trem dan monorail, maupun Mass Rapid

Transport (MRT) semacam kereta rel listrik, shuttle bus (bus ulang alik, semacam bus Trans-Jakarta di Jakarta) berbahan bakar gas, dan sebagainya. Perbedaan menyolok antara negara maju dibanding Indonesia adalah masalah kualitas angkutan massal yang ada. Jika kita lihat, angkutan KRL Jabotabek misalnya, yang kini telah berkurang jumlahnya, kualitasnya juga semakin menurun. Kenyamanan berkereta api sebagaimana layaknya di negara maju tidak kita jumpai pada kereta api Jabotabek itu. Selain penuh berdesakan lihat Gambar 3, tingkatkeselamatan penumpangj uga diabaikan. Padahal, di negara lain, justru moda transportasi antar kota/wilayah inilah yang terus didorong, untuk mengurangi arus kendaraan bermotor (http://www.pu. go.id/ bapekin/ buletin % 20 jurnal/ buletin%2010/buletin106.html)

Gambar 3. Ketidaknyamanan pengguna angkutan massal

b. Kampanye untuk kembali ke

model transportasi bebas polusi.Sebagai bentuk transportasiyang paling lazim di dunia, bersepeda kini mulai "naik daun", sejalan dengan usaha pemerintah beberapa negara untuk menggalakkan bersepeda melalui program khusus.Jumlah sepeda di planet ini lebih dari 800 juta, hampir dua kali jumlah kendaraan umum, tetapi untuk lebih menggalakkan kegiatan bersepeda, negara-negara seperti Belanda, Denmark, Belgia, dan Jerman mengembangkan jaringan jalan untuk sepeda, masing-masing dengan hak guna jalan yang terpisah dari jalan mobil. Tempat parkir yang terpisah, persewaan sepeda dengan uang jaminan yang akan dikembalikan, bahkan garasi khusus sepeda, semuanya diusahakan untuk lebih menggalakkan kegiatan bersepeda. Program semacam itu mempunyai dampak amat besar terhadap cara orang melihat pilihan yang mereka miliki untuk sarana transportasi. Misalnya, kegiatan bersepeda di Erlangen, Jerman, meningkat dua kali lipat setelah jalan sepeda sepanjang 160 km selesai dibangun. Banyak kota di Cina memiliki jalan sepeda selebar lima atau enam jalur. Sesungguhnyalah, sepeda amat penting di Cina, dan pemantauan lalu lintas di kota Tianjin telah mendata lebih dari 50.000 sepeda melintas di satu persimpanganjalan dalam waktu satu jam (http://www.usembassyjakarta. org / ptp/udarkt3.html). Sepeda sebagai alternatif moda pergerakan juga perlu digalakkan di Indonesia. Sepeda yang merupakan kendaraan tanpa emisi selain sangat menyehatkan juga murah. Dosen di negara seperti Swedia tidak merasa malu harus bersepeda beriringan dengan mahasiswanya. Tiap pagi mereka membonceng anak mereka ke sekolah dengan menggunakan sepeda dibanding harus menggunakan mobil yang selain harganya mahal juga biaya perawatan dan pajak juga tinggi.

Hampir tiap rumah tangga mereka mempunyai sepeda sebagai alternatif moda transportasi. Harga sepeda di negara-negara itu relatif tidak murah tapi mereka memilihnya karena tidak butuh bahan bakar. Di Indonesia sendiri, sebenarnya kendala utama dalam menggalakkan penggunaan sepeda ini adalah dalam hal kultur masyarakat yang simbolik. Atau dengan kata lain, gengsi. Masyarakat Indonesia cenderung

mengutamakan gengsi dibanding rasionalitas, baik dari segi penghematan maupun dari segi pelestarian lingkungan. Sulitnya, kendaraan bermotor pribadi seringkali dianggap sebagai simbol kesuksesan seseorang. Meski begitu, kesadaran bersepeda dampaknya sudah mulai muncul di Indonesia. Salah satu tandanya adalah bermunculannya komunitas-komunitas pecinta sepeda di Indonesia. Salah satu komunitas yang mungkin terkait langsung dengan topik tulisan ini adalah komunitas Bike To Work (sering disebut komunitas BTW atau B2W). Anggota komunitas ini, menggunakan moda sepeda untuk berangkat dari rumah ke tempat kerja.

Di Jakarta, perjuangan anggota komunitas ini seringkali dianggap kurang masuk akal, karena cukup banyak yang bertempat tinggal di Tangerang atau Bogor tapi tetap menggunakan sepeda untuk mencapai tempat kerjanya di pusat kota Jakarta. Tentu saja, mereka juga menggunakan angkutan umum (terutama KRL ekonomi), dengan membawa serta sepedanya.Komunitas-komunitas seperti ini, perlu didukung agar lebih memasyarakat.Fasilitas perpindahan moda yang nyaman memang merupakan faktor penting untuk mendukung penggalakkan sepeda ini. Di negara-negara lain, cukup banyak tempat parkir sepeda yang terletak di sebelah stasiun atau terminal shuttle bus, untuk memudahkan pengguna sepeda menitipkan sepedanya dan berganti moda. Ini terutama untuk mengakomodir permasalahan jarak antara tempat tinggal dengan tempat kerja masyarakat, yang juga menjadi kendala serius di kota-kota besar di Indonesia. Selain bersepeda, moda konvensional lain yang perlu digalakkan tentu adalah kembali ke berjalan kaki. Sarana prasarana yang kondusif untuk pejalan kaki perlu dikembangkan untuk menekan jumlah kendaraan bermotor di kawasan-kawasan tertentu (yang luas areanya masih memungkinkan untuk pejalan kaki). Kedua tipe manajemen lalu lintas ini pada dasarnya tidak bisa dipisahkan, bahkan perlu secara paralel diterapkan untuk saling mendukung satu sama lain. Sebagai contoh, strategi pelarangan masuk atau three in one akan lebih berhasil apabila diterapkan bersamaan dengan pengembangan moda transportasi umum yang murah dan berkualitas atau pembuatan sarana- prasarana untuk pejalan kaki atau pengguna sepeda yang memadai.


KESIMPULAN

· Pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia, harus segera ditekan. Kondisi pencemaran udara tanpa disadari telah mencapai kadar yang sebenarnya tidak lagi bisa ditolerir manusia, dan secara tidak langsung membuat sisi humanistik kota-kota besar kian luntur.

· Perubahan kultur masyarakat sebenarnya memegang peranan besar dalam hal ini, terutama pada pembangunan kesadaran untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat. Meski begitu, perubahan kultur tanpa manajemen yang mendukungnya tetaplah sia-sia.

· Tawaran-tawaran strategimanajemen yang disampaikan dalam tulisan ini bukanlah sesuatu

yang bersifat kaku maupun terlepas satu sama lain. Variasi, penyesuaian, maupun sinergi antar strategi merupakan sebuah keniscayaan, disesuaikan dengan perbedaan karakteristik kota-kota dimana strategi itu diterapkan.

· Pada akhirnya, kita memang hanya perlu mengingat, bahwa bumi ini tidak hanya untuk dinikmati oleh kita di generasi sekarang,akan tetapi juga untuk dinikmati oleh generasi selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Ø Buletin Bapekin (Badan Pembinaan Konstruksi dan Investasi), 2006, Pilihan Moda.Transportasi,http://pu.go.id/bapekin/buletin%20jurnal/buletin%2010/buletin106.html

Ø Gunawan dkk, 1999, Monitoring dan Penyelesaian Pencemaran Lingkungan, Puslitbang Jalan, Balitbang PU, Lampiran A, halaman 1.

Ø Indriastuti, Dewi,2003, Antara Kebutuhan Jalan dan Polusi Udara, Harian Kompas, Senin,2 Juni 2003,http://www.kompas.com

Ø Menteri Negara Lingkungan Hidup,1988, KepMen nomor: KEP- 02/MENKLH/1988, tentang : Standar Baku Mutu Udara Ambien

Ø Moore, Curtis, Mutu Udara Kota, Seri Makalah Hijau Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Indonesia, http://www. usembassyjakarta.org/ptp/udarkt 3.html

Ø Nanny Kusminingrum dkk, 2000, Monitoring dan Penyelesaian Pencemaran Lingkungan Akibat Lalu Lintas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Prasarana Jalan, Balitbang Kimbangwil, Dep. Kimbangwil, Halaman : 11, 29, 32, 35.

Ø Pencemaran Lingkungan Online,----, FenomenaPencemaranUdara, http://www.tlitb.org/plo/udara.html

Ø Swiss Contact, -----, Sistem Bahan Bakar Motor Bensin, Seri Teknik Otomotif, Segar Jakartaku, Halaman : 27, 28.

Ø Widiastono,Tonny D., 2003,Mendambakan IndonesiaBerlangit Biru, Harian Kompas, Kamis, 28 Agustus 2003, http://www.kompas.com/gayahid up/index.html.

1 komentar:

nirwan mengatakan...

Sependapat dengan Prof Otto Soemarwoto solusinya adalah kembali pada diri sendiri. Mari mulai kesadran dari diri sendiri untuk tidak mau mencemari lingkungan. Semoga Udara kita lebih segar dengan kontribusi kita masing-masing

Posting Komentar